Kim Yulia Devi Ristanti Write's

Kim Yulia Devi Ristanti Write's

Sabtu, 10 Desember 2011

PERAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA JAWA


BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG

Gender masih menjadi isu penting dalam kehidupan masyarakat di berbagai negara. Munculnya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan gender merupakan salah satu pemicu munculnya gagasan kesetaraan gender di semua aspek kehidupan baik di ranah domestik maupun publik. Keluarga, sebagai sub sistem dari masyarakat, memiliki fungsi strategis dalam menanamkan nilai-nilai kesetaraan dalam setiap aktivitas dan pola hubungan antaranggota keluarga, karena dalam keluargalah semua struktur, peran, fungsi sebuah sistem berada. Dalam keluarga terjadi proses negosiasi yang tidak akan pernah selesai, di mana segala bentuk perbedaan harus menemukan harmoninya dengan pembagian peran dan fungsi yang seimbang antaranggota keluarga yang terdiri dari ayah/suami, ibu/istri dan anak-anak. Oleh karenanya, dengan berbagai perbedaan itulah, seluruh anggota keluarga dapat memperkuat fungsi keluarga sebagai institusi pertama bagi setiap anak manusia untuk mengenal dirinya, lingkungannya, tempat tumbuh dan berkembang, saling mengasihi, melakukan proses pendidikan, membentuk karakter setiap individu dan mempersiapkan setiap individu (anak) untuk mencapai tujuan utama sebagai manusia yang berkualitas.
Budaya Paternalistik yang selama ini berkembang di masyarakat akhirnya membagi gender secara diskriminatif dan struktural, hal ini mengakibatkan wanita hanya di tempatkan pada kelompok masyarakat nomor dua. pepatah jawa yang mengatakan bahwa fungsi perempuan hanya macak, masak dan manak merupakan sebuah konotasi yang dapat diartikan bahwa perempuan itu hanya merupakan makhluk yang bernyawa tapi tidak berjiwa. Perempuan dianggap makhluk yang anti sosial di mana potensi spiritual dan intelektual tercerabut dari tubuhnya, atau tidak mendapatkan sebuah media yang proporsional. Stereotip-stereotip yang telah terpatri dalam perempuan inilah yang lambat laun membentuk opini bahwa perempuan hanya bisa berkiprah di bawah ketiak laki-laki, ataupun perempuan hanya mampu dimaknai eksistensinya pada wilayah realitas fisiknya saja.
Pencitraan para perempuan Jawa sangat lekat dengan persoalan sumur yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat itu sendiri. stereotip ini merefleksikan peran perempuan yang bertanggung jawab terhadap kebersihan pakaian keluarga, atau dalam pepatah Jawa seorang perempuan tidak pernah bisa lepas dari wilayah sumur, dapur dan kasur. Secara sekilas, representasi tersebut terlihat lumrah, visibilitas dari representasi ini dikonsepsikan pada fenomena rumah tangga, di mana perempuan sebagai ibu rumah tangga berperan sebagai subjek gender yang bertanggung jawab terhadap kebersihan pakaian. Sedangkan “dapur” merupakan sebagai simbol bagi perempuan yang lebih berperan dalam urusan pemenuhan kebutuhan pangan. Kemudian “kasur” merupakan sebagai istlah yang menandakan bahwa perempuan berkewajiban dalam pemenuhan kepuasan suami. Fenomena yang demikian merupakan fenomena sosial yang biasa bagi masyarakat. Sesungguhnya, dalam representasi dewasa ini terdapat pemahaman ideologi yang mempunyai perspektif gender.


B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami merumuskan beberapa masalah, yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimana konsep mengenai gender dalam budaya Jawa?
2.      Bagaimana peran perempuan dalam keluarga Jawa ?

C.     MANFAAT DAN TUJUAN
1.      Manfaat
Makalah ini bisa bermanfaat untuk :
-         Menambah khasanah pengetahuan
-         Dapat menjawab dan menjelaskan pemasalahan yang ada
2.      Tujuan
Setelah menjelaskan mengenai latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka makalah ini bertujuan :
-         Agar kita mengetahui konsep gender dalam budaya Jawa
-         Mengetahui peran perempuan dalam budaya Jawa






























BAB II
PEMBAHASAN

1.        Konsep Gender dalam Budaya Jawa
Konsep gender yang dipahami sebagian besar orang seringkali bias dan lebih diartikan sangat sempit sebagai sebuah konsep yang hanya membicarakan masalah perempuan dengan kodrat keperempuaanya saja. Padahal gender berbeda dengan jenis kelamin, dia tidak hanya membicarakan perempuan saja ataupun laki-laki saja, bukan juga konsep tentang perbedaan biologis yang dimiliki keduanya. Gender merupakan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan (dibangun) oleh masyarakat atau kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya dan struktur sosial yang berbeda-beda di setiap daerah, suku, negara dan agama. Oleh karenanya, perbedaan peran, perilaku, sifat laki-laki dan perempuan yang berlaku di suatu tempat/budaya belum tentu sama atau berlaku di tempat yang berbeda.
Dalam hal ini, masyarakat Jawa secara tradisi menganut konsep sosial gender yang patriarkis. Implikasi secara umum adalah wanita menjadi sub-ordinat pria. Peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara perempuan. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki memiliki kemampuan/ kekuasaan/ kekuatan lebih besar dibanding anggota keluarga perempuan. Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik merupakan tanggung jawab ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, terutama Jawa, peran perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah tambahan).
Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.
Jika diamati, pada saat krisis ekonomi terjadi, dimana banyak pekerja (laki-laki) yang terkena PHK, serta sulitnya mencari lapangan kerja baru membuat kaum perempuanlah yang bangkit menjadi pengganti peran pemenuhan kebutuhan keluarga. Sering kita jumpai pada masyarakat Jawa, banyak kaum ibu yang berusaha membuka usaha kecil seperti warung, berjualan jamu atau bekerja paruh waktu untuk tetap menjaga keberlangsungan hidup keluarga. Dan faktanya, peran itu telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Artinya, bahwa peran yang dilekatkan pada perempuan sebagai kaum lemah dan hanya dibatasi pada peran-peran domestik (pengasuhan anak, mengurus rumah, dll.) tidak benar, karena baik laki-laki maupun perempuan, apabila diberi kesempatan yang setara dapat melakukan tugas yang sama pentingnya baik di dalam rumah (domestik) maupun di luar rumah (publik).

2.    Peran Perempuan Dalam Budaya Keluarga Jawa
Secara social, orang Jawa membedakan dua golongan social, yakni  : (1) wong cilik, terdiri dari sebagian massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota, dan (2) kaum priyayi, yakni pegawai dan intelektual. Stratifikasi atau kelas social ini banyak berimplikasi pada pola perilaku, cara berfikir dan bertindak dalam konteks kehidupan social yang lebih luas.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dalam keluarga  masyarakat Jawa merupakan system yang membentuk perilaku seorang anak. Biasanya hal ini dikaitkan dengan peran perempuan dalam keluarga. Inilah yang seringkali menjadi isu sensitive untuk diperbincagkan karena pada umumnya masyarakat jawa, tidak hanya kaum laki-laki, tetapi juga perempauan itu sendiri beranggapan bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang tunduk dan patuh pada peran-peran yang telah ada sebelumnya, dengan kata lain peran yang telah dikonstruksi.
Pada kenyataannya, perempuan Jawa selain sebagai individu (manusia), juga sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dalam konteks budaya Jawa, perempuan sebagai istri memilki tugas dan persyaratan fisik-psikis dan social yang amat berat. Perempuan dalam budaya Jawa diibaratkan sebagai bunga. Ia indah dipandang dan selalu memancarkan bau harum mewangi. Ia adalah ratu yang bertahta dengan agung di dalam rumah tangganya. Dalam hal ini,  budaya Jawa seringkali menerangkan tiga sifat wanita sebagai ratu rumah tangga yang baik, yakni merak ati. Gemati, dan luluh. Merak ati dimaknai pandai menjaga kecantikan lahir dan batin, pandai bertutur sapa dengan santun, pandai mengatur pakaian yang pantas, murah senyum, luwes gerak-geriknya dan lumampah anut wirama, bertindak sesuai irama. Gemati atinya menunaikan kewajiban sebagai istri dengan sebaik-baiknya. Sebagai istri seorang perempuan harus bertugas sebagai perawat rumah tangga dan mengatur keuangan sebaik-baiknya. Ia bertugas mendidik anak dengan naluri keibuannya yang terasah. Sedangkan luluh artinya penyabar, tidak keras kepala, menerima segala masalah dengan hati lapang.
Berdasarkan pada uraian di atas, perempuan Jawa tergambar sebagai perempuan yang lemah, lebih bergantung pada suami, dan hanya mampu menegerjakan pekerjaan domestic saja. Stereotipe seperti ini pada zaman sekarang memang masih ada. Namun,tidak teralu menonjol seperti dulu, karena sekarang banyak perempuan yang sudah mulai memasuki ranah public untuk menunjukkan dirinya, bahwa ia tidak hanya mampu melakukan tugas domestic saja, melainkan dapat juga bekerja di sector public tanpa mengesampingkan perannya dalam mengerjakan tugas domestic.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
            Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peran perempuan dalam keluarga jawa diidentikan dengan sifat-sifat yang lemah dan nrimo, sehingga karakter perempuan jawa sudah terbenbentuk seperti itu, namun dalam perkembangannya sekarang perempuan jawa sudah mulai terjun ke ranah public sehingga stereotype mengenai perempuan jawa yang dianggap hanya mampu berperan dalam sector domestic sudah mulai pudar. Hal ini terlihat pada kenyataan zaman sekarang bahwa perempuan jawa sudah banyak yang ikut menopang ekonomi keluarga tanpa meninggalkan perannya dalam mengerjkan tugas domestic. Dapat dilihat pada laki-laki yang di PHK, seorang istri menggantikan perannya sebagai tulang punggung keluarga, dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

SARAN
            Walaupun perempuan jawa identik dengan sifat lemah dan nrimo, kita juga harus melihat sisi yang lain dari perempuan seperti, perempuan yang tidak hanya bekerja dalam ranah domestic, perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, dan perempuan yang sudah menunjukkan jati dirinya keranah public. Maka jangan memandang perempuan dengan sebelah mata, karena pada dasarnya didalam diri perempuan terdapat sifat-sifat yang kuat.









                                                 DAFTAR PUSTAKA                   

Fakih Mansur, Analisis Gender dan Transformasi sosial.1996.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar